berita smpit
Semarang, 17 Maret 2021
Kepada yang terhormat
Seorang pahlawan yang mencium kedua pipiku ketika kakinya mulai melangkah menuju kesibukan dunia - Ayah -
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Lapor komandan, virus corona masih menyebar di Kota Semarang. Laporan selesai. Izinkanku menyapamu walau hanya dengan sebuah kalimat. Apa kabar?? Ayah sehatkan? Di sini aku sehat-sehat aja. Ayah nggak usah khawatir, corona belum menembus perisai do’a Ayah dan Ibu. Namun, kebahagian selalu terpancar dari do’a-do’a itu.
Ayah, mungkin isi surat ini bukan hal yang menarik untuk dibaca. Bukan juga berkisah tentang seorang nenek sihir yang membuat virus corona harus pergi meninggalkan bumi. Tapi aku janji, isi surat ini akan mengobati rasa lelah yang harus ayah pikul sendiri di tempat nun jauh di sana.
Kisah ini diawali oleh seorang anak yang duduk manis di kasur tipis berbalut kain. Anak itu menunggu sesuatu membawanya pulang. Dengan setia dia tetap duduk manis sambil sesekali tertawa simpul. Dia menunggu untuk pulang, menunggu sebuah mobil melintas membunyikan klaksonnya. Tapi harapan itu pupus, berganti berita bahwa dia tidak diperbolehkan untuk pulang. Semua anak ricuh, menolak keputusan yang dibuat, beberapa menangis, beberapa lagi berteriak marah memaki-maki. Dan anak itu menangis. Pulang, hanya itu yang ada dipikirannya. Dan corona adalah alasan dari semua keputusan itu.
Anak itu adalah aku. Orang yang tengah menuliskan surat untukmu Ayah, yang akhirnya harus pulang, sebab keputusan terakhir yang dibuat oleh pemerintah. Dijemput hanya oleh Ibu, tidak ada Ayah, karena kaki Ayah yang masih terus sibuk berada di keramaian Kota Pahlawan. Dan satu tahun pun berlalu, tanpa Ayah di sisiku.
Ayah, lihat tanganku. Dulu halus bagaikan kapas, tapi kini telah banyak goresan. Tenang Yah, nggak sakit kok. Semua ini bukti dari hasil cipratan minyak goreng dan pisau yang menggores halus tanganku. Kakak mengajariku memasak, katanya agar hemat, agar uang Ayah tak terbuang sia-sia. Sekarang coba lihat rambutku sudah panjang. Ah pasti Ayah gerah, ingin segera mengambil gunting lalu memotong rambutku di tengah temaram senja. Terakhir lihat bentuk tubuhku, sekarang tinggi kita sama Ayah, sudah hilang harapan di mana aku bisa lagi digendong olehmu. Satu tahun berlalu di tengah pandemi membuatku tumbuh cepat, bahkan Ayah tak sadar, hanya sadar ketika kita bersandingan lewat layar digital.
Kalau boleh jujur Ayah, pandemi merupakan rahmat tak terduga dari Allah. Dari pandemi aku belajar banyak Ayah, salah satunya belajar merangkai kata menjadi alunan syair yang indah. Lagu. Aku belajar membuat lagu, hanya berbekal otak, sepucuk kertas, serta tangan yang menyentuh lembut piano. Bukan lagu yang bagus memang, tapi itu cukup mengisi waktu tak berfaedah yang kadang aku ciptakan sendiri.
Ayah pasti gembira mendengar kabar ini. Kini aku sudah hafal lima juz Al - Qur’an. Bukankah Ayah ingin berlomba melawanku? Berlomba menghafalkan ayat-ayat suci Al- Qur’an. Terakhir kali aku mendengar Ayah dengan khusyuk mencoba menghafal surah AlKahfi, menyetorkannya pada Kakak setiap malam. Dan setelah itu tak henti-hentinya Ayah membaca buku tafsir, menyalakan murotal, dan terakhir mulai mencoba berlagak seperti kyai kyai.
Banyak orang bilang corona merusak segalanya dan beberapa orang mengatakan corona memulai segalanya. Ayah pasti sadar banyak perusahan berjatuhan hanya karena masalah rugi atau masalah yang tidak bisa aku pahami. Ayah tahu, listrik di rumah sering mati, tagihan air melonjak, dan penggunaan internet yang tak ada habisnya. Terlepas dari segala kesengsaraan itu, orang bilang corona mengajarkan kita arti kata “bersama” dan “mensyukuri”. Bersama memberikan kehangatan walau hanya ditemani secangkir kopi. Mensyukuri walau rela berpisah demi kebaikan diri. Kedua kata itu memulai lembaran baru dari setiap kisah perjalanan manusia saat ini. Salah satunya adalah aku. Aku tak ingin tahu kisah mereka, karena jujur Yah, aku iri kepada mereka. Mereka berkumpul bersama keluarga, tertawa, menangis, sembari ditemani secangkir kopi. Apakah kita bisa melakukannya Ayah? Apakah kita bisa melakukannya tanpa terhalang oleh jarak? Atau bahkan kebijakan pemerintah.
Ayah, aku tahu. Aku bukan anak pejabat, bukan juga anak presiden, apalagi artis terkenal. Aku hanyalah seorang anak dari pengabdi negara. Bolehkah kuluapkan isi hatiku? Aku ingin berlagak layaknya pejabat negara di hadapan Ayah. Seandainya saja aku pejabat penting negara aku akan mencari solusi, membuat sebuah kebijakan bagaimana kita tetap bisa bertemu tanpa takut menyebarkan virus. Takkan ada lagi anak-anak yang menangis hanya karena orang tua mereka pergi ke kota nun jauh di sana. Berlaku adil pada semua kalangan, tak akan ada yang mengeluh tak mendapat bantuan dari pemerintah. Tak kan egois, melupakan sikap kemanusian demi selembar uang. Ketika kebijakan social distancing kuterapkan, maka aku akan dengan tegas menutup tempat hiburan dan hal-hal lain yang mengundang kerumumanan massa.
Ayah, langit kini sudah gelap. Bintang-bintang sudah menampakkan dirinya. Matahari sudah menghilang sejak tadi, sudah saatnya aku mengakhiri surat ini. Ayah, kini aku hanya bisa berharap, semoga lusa kita bisa bersua. Kita akan bertukar cerita sembari menikmati secangkir teh jahe kesukaan Ayah, walau aku tak pernah suka meminumnya ha… ha… ha... Ayah cukup sampai disini ya, maaf dan terimakasih kepada Ayah sekaligus coach, guru, dan juga teman untukku.
Lapor komandan, sekian cerita dari saya, tetap jaga kesehatan Anda. Laporan selesai.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Dari seorang anak yang berlagak layaknya pejabat negara
Hafizhah Nadhira Putri