berita smpit
Sepi. Pasar loak yang biasanya ramai, seketika berubah menjadi tempat yang sunyi dan dingin. Tidak ada suara, hanya ada suara gemericik air yang disisakan hujan tadi malam.
Sejak dua minggu lalu tak ada yang berani keluar. Tak ada yang mau bersentuhan, bahkan sekedar bertemu dengan teman lama. Mereka takut akan berubah menjadi sesosok monster hitam yang menakutkan.
“Semua ini salah para tikus jelek itu.” Kata salah satu nona muda beberapa hari yang
lalu.
Aku menertawakannya, menertawakan semua orang yang menuduh teman-teman tikusku. Bagaimana mungkin makhluk kecil yang suka membolongi karung beras, sesosok makhluk kecil yang dikenal suka memakan keju ini dituduh sebagai pembawa kegelapan? Ah, rasanya sama saja seperti mengatakan bahwa bumi itu segitiga.
“Citt… cit…”
“Hai Chewy.” Seekor tikus mendekatiku, siap menerima sepotong keju yang sedari tadi kugenggam.
Aku memotong sedikit keju yang kugenggam, menaburinya di sekitar Chewy yang terlihat tak sabar. Melihat keinginannya sudah dipenuhi, Chewy segera berlari memanggil keluarganya. Aku memanggil mereka keluarga Buttons. Dan dengan bangganya aku juga mengakui bahwa aku adalah salah satu dari mereka.
Chewy datang sepersekian detik kemudian. Ia ditemani oleh 3 ekor tikus lainnya.
Mereka mendekati remahan keju, menatapku layaknya mengucapkan terimakasih.
“Maaf kawan aku tak bisa memberi kalian banyak makanan.” Aku tertegun menatap sepotong keju yang kini hanya tinggal setengah.
“Hanya ini yang kupunya.” Aku memutuskan melahap keju itu. Kini keju itu sudah tersimpan aman dalam perutku. Aku duduk di dekat Chewy, membelai bulu tipisnya.
“AWW!”
Chewy tiba-tiba menggigit jariku, dengan spontan aku langsung melempar Chewy hingga dia tampak lemas terbentur dinding. Aku melihat jariku, berdarah. Tanpa pikir panjang aku memasukkan jariku ke dalam mulutku, membasahinya dengan air liur. Darah itu sudah berhenti keluar, tapi masih menyisakan bekas gigitan yang cukup dalam.
kini kualihkan pandangan ke tikus-tikus itu, terlihat hanya tersisa Chewy yang masih tergeletak lemas sedangkan 3 ekor lainnya sudah pergi.
“Chewy aku benar-benar minta maaf, aku kaget karena tiba tiba kamu menggigitku.” Ketika aku ingin menggendong tubuh Chewy yang lemas tak berdaya, tiba-tiba seorang lelaki paruh baya memukul tanganku dengan sapunya.
Aku meringis kesakitan. Tak peduli, lelaki itu malah sibuk membuang tubuh Chewy ke tempat sampah. Dengan sigap aku langsung menghentikan pergerakan lelaki itu.
“Jangan pernah sentuh keluargaku!” Dengan wajah merah, napas yang tak teratur dan tubuh yang terasa sangat panas, aku memberanikan diri untuk berlaku tak sopan. Lelaki paruh baya itu hanya melihatku sekilas lalu melanjutkan aktivitasnya. Setelah Chewy sempurna berada di tong sampah, air mataku mulai menetes. Aku terduduk lemas seperti kehilangan sesuatu yang paling berharga.
“Kenapa semuanya membenci sahabatku? Apa yang salah dengan teman-teman tikusku?” Pikiran itu terus bernaung di otakku.
Tiba-tiba kalimat yang dilontarkan nona muda tempo hari terlintas di kepalaku. Mungkinkah itu jawabannya? Mungkinkah benar mereka yang membuat pasar loak ini sepi tanpa pengunjung? Membuat seluruh kota menjadi suram, tak ada kehidupan.
Tapi sekali lagi aku menyangkal semuanya, toh, mereka hanya memandang sebelah mata. Tak mengenal, bahkan sekadar melihat tikus melintas saja mereka berteriak histeris. Aku bangkit, menatap sinis lelaki paruh baya itu, mengucapkan sumpah serapah dalam hati, dan berjanji takkan kembali ke pasar loak ini.
***
Gadis kecil dengan pakaian kumuh, hidup menjadi saksi bisu kehidupan dalam kolong jembatan. Tak banyak bicara tapi memiliki banyak cerita.
Gadis itu hidup sedikit kurang beruntung. Tidak. Ia tidak beruntung. Jangan kira ia tak memiliki rumah. Ia punya. Sangat besar malah, mungkin harganya sekitar 1 milyar. Ya, kolong jembatan adalah rumahnya. Bagi gadis itu, kolong jembatan adalah rumah paling nyaman. Di kolong jembatan, ia tak akan kehujanan. Jika dingin menyergap ia bisa langsung membenamkan dirinya di dalam tumpukan sampah.
Tempat itu sering dilintasi tapi tak pernah diberi simpati. Gadis itu selalu dipandang sebelah mata, tapi ia tak peduli. Toh, ia hidup bukan untuk mereka. Bahkan mungkin ia tak tahu hidupnya untuk apa.
Apakah gadis itu bahagia dengan hidupnya? Bagaimana caranya mencari uang? Apa pekerjaannya? Jawaban dari semua pertanyaan itu, bisa terjawab di kolong jembatan.
Ketika hujan mulai mengguyur seisi bumi, dan orang-orang lekas pergi untuk menghangatkan diri, di bawah sana akan terdengar suara tawa samar gadis cilik. Wajahnya berseri-seri. Bahagianya sederhana, hanya ditemani sepotong roti dan tikus-tikus yang tampak berjejer rapi di depannya.
Gadis itu bisa dijumpai di sebuah pasar loak. Lebih tepatnya ketika matahari sempurna berada di atas kepala. Pasti gadis itu sedang menari-nari sambil membawa sepotong keju. Terkadang wajahnya juga tertekuk, tak kuasa menahan air mata sebab dipukul oleh rotan karena dianggap gelandangan.
Gadis itu cantik tapi sayang nama dan takdirnya tidak seindah wajahnya. ‘Suzhou’ itulah namanya dan ‘Kutukan’ adalah artinya.
Dan gadis itu adalah aku, gadis cilik yang beberapa hari lalu menangis di sebuah pasar loak yang sepi. Kini aku terduduk lemas di dekat tumpukan sampah yang tampak seperti gunung. Tangan kecilku menari-nari, mungkin lebih terlihat seperti memberi isyarat.
“Ini melelahkan.” Aku menghembuskan napas berat, berharap keadaan menjadi lebih
baik.
“Cit ... Cit…” Seekor tikus tampak nyaman tidur di pangkuanku. Wajahku mulai mengukir senyum tipis, hampir tak terlihat.
“Hhhh …”
kupejamkan mataku merasakan bagaimana tubuhku satu persatu mulai terasa panas. Sejak hari itu, hari dimana Chewy menggigitku, tubuhku seperti bergejolak. Terkadang terasa panas dan dingin yang tak menentu. Kepalaku juga mulai terasa sakit, seperti ditimbun oleh batu terbesar di dunia.
Kucoba menggelengkan kepalaku, mencoba bangkit. Aku tak bisa hidup seperti ini terus menerus. Persedian makan mulai habis, lebih tepatnya sudah habis. Tanganku sudah mendarat ke tanah, mencoba membantu tubuhku untuk bangkit dari duduk. Apa daya, rencana ini bagai tsunami yang menghancurkan seisi kota. Sia-sia. Tubuhku bahkan tidak berpindah sama sekali. Tubuhku menolak untuk bangkit. Tanganku pun menolak untuk menjadi penopang. Bahkan hati kecilku pun terasa berat, seperti tahu bahwa sudah saatnya aku beristirahat.
“Apa yang harus kulakukan?” Batinku. Bosan. Kualihkan pandanganku ke tikus kecil yang sedari tadi tidur nyenyak di pangkuanku.
“Hei, apa menurutmu aku juga harus beristirahat dari dunia ini.” Aku memejamkan mata, merasakan atmosfer ruangan yang berubah bak neraka. Tikus itu tak menanggapi, tetap tidur nyenyak tak bergerak.
“Dua menit saja”, kulanjutkan ucapanku. Tubuhku tiba-tiba tak terkontrol, sekujur badanku bergerak sendiri tak normal. Gerakan tak beraturan yang tak bisa kukendalikan.
Mulutku terbuka. Mataku berputar, pandangan di sekitarku kabur.
Tikus kecil di pangkuanku terbangun, tampak berlari dengan gesit menghindariku. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhku kaku. Kini aku pasrah. Bahkan air mata tampak tak mau keluar membasahi pipiku, membiarkannya kering. Bibirku mulai membiru, lebam di sekujur tubuh yang muncul secara misterius. Aku kembali menutup mata. Napas demi napas kucoba kendalikan. Kini akhirnya aku bisa menangis, terisak pelan sembari menggigit bibir. Memaki sang pencipta dalam hati, bahkan mulai berfikir untuk mengakhiri semua penderitaan ini.
Hening. Aku berusaha keras membenarkan posisi tubuhku. Kusandarkan tubuhku ke sebuah papan kecil di tembok kolong jembatan. Kuseka air mata yang tak kunjung berhenti.
Tangis pilu tak bisa kubendung. Memori-memori kehidupanku muncul silih berganti. “Tuhan, apa kamu telah salah menciptakan diriku?” Dengan suara parau aku bertanya ke alam semesta, berharap ada jawaban.
“Napas ini sudah tak kuasa berhembus”, lanjutku mengadu, kembali berharap jawaban dari alam semesta.
“Jantung ini sudah tak kuasa berdetak, ia ingin istirahat, biarkan dia berhenti berdetak, tubuh ini juga tak kuasa menerimanya”, aku berusaha mendongakkan kepalaku.
Alam tampak bergoyang, akibat angin kencang yang menghantam pepohonan. Lalu hujan turun menemani sang angin untuk membasahi bumi. Hujan tak biasanya membasahi seluruh isi kolong jembatan, tapi kini hal itu terjadi. Tetesan air membasahi tubuh mungil gadis itu. Tatapannya kosong. Beberapa detik kemudian suara napas terdengar di sepanjang kolong jembatan, menyayat hati. Napas itu tercekat di kerongkongan, tak ingin keluar. Gadis itu, dengan seluruh tenaganya ingin berteriak, ingin kembali berharap. Tapi apa daya, tubuhnya satu persatu mulai menjadi dingin. Seketika matanya menutup. Jantungnya berhenti berdetak.
“Terimakasih Tuhan, engkau memperlihatkanku bagaimana dunia ini begitu kejam. Kini biarlah aku tertidur, membuat memori-memori itu menjadi kenangan.”
Kini aku mengerti, mengapa semuanya takut. Membenci. Bahkan tak segan-segan membunuh mereka. Para tikus itu, sahabatku, para makhluk yang paling aku percaya adalah makhluk yang mengakhiri ceritaku dan cerita mereka semua.
Gadis itu mengakhiri ceritanya dengan singkat. Tak sempat dibukukan oleh awak media. Biarlah ia istirahat, setidaknya sekarang ia bisa tertidur lelap di sana. Menyaksikan indahnya balasan untuk hidupnya yang penuh kesengsaraan.